Menuju Jama'atul Muslimin

Buku ini terdiri atas tiga bab atau bagian utama. 
Bagian pertama, menjelaskan mengenai Haikal Jama’atul Muslimin (Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin). Dalam bab ini, al-Ustadz Husain Jabir telah berusaha menjelaskan secara konsepsional berdasar tinjauan syari'at Islam yang menunjukkan betapa pentingnya wujud sebuah Jama’atul Muslimin. Ia awali pembahasannya dengan mengupas makna umat Islam, baik dari bahasa maupun geografis. Kemudian ia lanjutkan dengan membahas mengenai urgensi syura sebagai lambang tertinggi yang darinya lahir berbagai kebijaksanaan sebagai manifestasi political will umat Islam. Sejalan dengan itu tak mungkin terwujud sebuah syura berskala global, meliputi seluruh umat tanpa adanya imamah atau sistem kepemimpinan. Dalam membahas fasal ini, penulis telah menjelaskan bahwa yang terpenting adalah mewujudkan dan menjaga imamah-nya (kepemimpinan), bukan masalah siapa yang menjadi imam. Artinya bisa saja sang imam bukan berasal dari keturunan Quraisy, asalkan ia memiliki kelayakan sebagai pemimpin umat. Penulis berpendapat bahwa manakala kesatuan umat Islam dengan segala karakteristik positifnya telah terbentuk, ditambah lagi adanya lembaga syura yang berjalan di dalam kerangka sebuah imamah, berarti pada saat itulah sebuah Jama'atul Muslimin telah eksis dengan segala makna hakikinya. Oleh karenanya, bagian pertama ini ia akhiri dengan membahas secara khusus tujuan Jama'atul Muslimin, baik tujuan khusus maupun tujuan umum, apalagi di masa kini, di mana sebagian kaum Muslimin lalai terhadapnya. Maka kami merasa perlu untuk membicarakannya di sini.

Menurut al-Ustadz Husain jabir rahimahullah terdapat empat tujuan khusus jama’atul Muslimin, yaitu:
1. Pembentukan pribadi-pribadi Muslim (binaa’al-fard al-muslim)
2. Pembentukan rumah tangga Muslim (binaa’al-usrah-al-Muslimah)
3. Pembentukan masyarakat Muslim (binaa’al-mujtama’al-Muslim)
4. Penyatuan umat Muslim (Tauhid al-ummah al-Islamiyah)


Adapun tujuan umum Jama’atul Muslimin, menurut penulis buku ini, ada enam, yaitu:
1. Agar seluruh manusia mengabdi kepada Rabb Nya yang Maha Esa
2. Agar senantiasa memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar
3. Agar menyampaikan dakwah Islam kepada segenap umat Manusia
4. Agar menghapuskan fitnah dari segenap muka bumi
5. Agar memerangi segenap umat Manusia sehingga mereka bersaksi dengan persaksian yang benar (syahadatain)

Olehnya, dapatlah kita fahami mengapa ketika penulis menguraikan pendahuluan dari buku ini, beliau mengajukan sebuah pertanyaan: "Adakah Jama'atul Muslimin di dunia sekarang ini?" Dan kemudian beliau sendiri menyimpulkan jawabannya bahwa berbagai pemerintahan Islam yang ada saat ini tidak satu pun yang memenuhi persepsi konsepsional mengenai Jama'atul Muslimin yang dicita-citakan oleh setiap muslim yang cinta akan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Maka di dalam bagian kedua bukunya, penulis melanjutkan bahasannya dengan judul ath-Thariq ila Jama’atil Muslimin (Jalan Menuju Jama’atul Muslimin). Bagian kedua ini sedemikian pentingnya sehingga penulis menjadikanya tema sentral, bahkan menjadikan judul buku ini secara keseluruhan. Bagian kedua ini diawali dengan pembahasan mengenai fasal al-ahkam al-Islamiyah (Hukum-hukum Islam).

Sebagaimana kita ketahui dewasa ini kebanyakan manusia, termasuk kaum Muslimin, mempunyai persepsi keliru mengenai hukum-hukum Islam. Ada kesan seolah-olah hukum Islam merupakan aturan yang kuno, bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa ia merupakan hukum yang sadis, kejam, dan tidak manusiawi. Apalagi setelah berbagai putusan pengadilan di beberapa negeri muslim yang memberlakukan hukum pidana Islam kemudian menjatuhkan vonis rajam bagi pezina, atau potong tangan bagi para pencuri, lalu hal ini diekspose oleh berbagai surat kabar dan majalah dengan suatu pendekatan anti Islam yang semakin memperkokoh kesalahpahaman umat manusia akan hakikat serta keadilan hukum Islam. Mengapa hal ini terjadi?

Sebab pokoknya adalah karena sebagian besar negeri-negeri yang menerapkan hukum-hukum Islam tidak memahami, apalagi mengaplikasikan syumuliyah (totalitas) ajaran Islam sebagai way of life atau minhaj al-hayah. Itulah alasannya mengapa penulis buku menganggap perlu menyisipkan bahasan yang diberi judul "Tidak ada Sektoralisasi dalam Hukum Islam." Manakala Islam dipahami secara syamil, niscaya penerpaan ajaran Islam akan mencakup tidak saja hukum pidana, melainkan juga pemberlakuan ideologi Islam di negara yang bersangkutan. Demikian pula berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti di bidang politik, sosial budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional. Semua akan diselenggarakan berdasarkan dan sesuai nafas ajaran Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana, al-Islam. Adapun sekarang, apakah yang kita saksikan di tengah kebanyakan negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim? Di satu segi ada semangat untuk tetap memelihara warisan suci ajaran Islam, terutama di bidang ibadah praktis atau hukum pidana Islam, namun di sisi lain kita melihat bagaimana berbagai aspek kehidupan selepas itu diatur oleh ajaran-ajaran produk manusia yang sudah barang tentu mengandung banyak ketidaksempurnaan! Di satu sisi, semangat untuk memotong tangan sebagai sanksi bagi para pencuri terus ditumbuhkan, namun di sisi lain pengelolaan zakat sebagai landasan di dalam masyarakat tidak ditangani secara serius. Atau hukum rajam bagi para pezina ingin diterapkan, tetapi berbagai film-film seronok, majalah dan bacaan-bacaan cabul merambah dengan leluasa di tengah kaum muda umat. Inilah peringatan Allah yang jelas tertera dalam Al-Qur'an:

Apakah kamu beriman kepada sebagaian al-kitab (Qur'an) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada sisksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah : 85)

Ajaran Islam bersifat syamil-kamil-mutakamil (menyeluruh, sempurna, dan saling menyempurnakan). Sedangkan Muslim memiliki al-qudrah al-juz’iyyah al-mahdudah (kemampuan sektoral dan terbatas). Oleh karenanya tidak mungkin Islam akan tertegak secara utuh manakala kaum muslimin menerapkannya secara individual. Ia mestilah diterapkan secara jama'i (kolektif). Harus ada suatu upaya ‘amal jama’i agar kesempurnaan Islam dapat terealisasi dalam kehidupan kolektif kaum Muslimin. Sedangkan kehidupan amal jama’i tidak akan mungkin terwujudkan dengan sempurna kecuali setelah terbentuknya sebuah tatanan dakwah yang memadai. Tatanan dakwah inilah yang merupakan fokus pembahasan penulis.

Maka di dalam fasal berikutnya penulis melanjutkan pembahasannya dengan menguraikan "langkah pertama Rasulullah SAW dalam Membina Jama'ah". Setelah itu beliau membahas "Rambu-rambu dari sirah Nabi dalam Menegakkan Jama’ah" yang berisi enam karakteristik pokok sebuah jamaah, antara lain:
* Nasyr mabaadi’ ad-da’wah (menyebarkan prinsip-prinsip dakwah)
* At-takwin ‘alaa ad-da’wah (Pembentukan Dakwah)
* Al-mujabahah al-Musallahah (konfrontasi bersenjata)
* Al-sirriyah fi binaa’al-jama’ah (sirriyah dalam membina jama’ah)
* Ash-shabru’ala al-adza (bersabar atas gangguan musuh)
* Al-Ib’aad ‘an saahah al-ma’rakah (menghindari medan pertempuran)

Kemudian bagian dua ditutup dengan membahas "Tabi’at Jalan Menuju Jama’atul Muslim". Dan yang terpenting kita catat adalah berbagai contoh sepanjang perjalanan sejarah dakwah yang telah diuraikan secara baik sekali oleh al-Ustadz Husain Jabir.

Di dalam bahasan ketiga, penulis membahas bab berjudul "al-jama’ah al-Islamiyah al-‘Amilah fii Haql ad-Da’wah al-Islamiyyah" (beberapa Jamaah Islam di Medan Dakwah). Beliau mengangkat beberapa kasus dalam realitas dunia dakwah dewasa ini, sebelum langsung membahas satu per satu jamaah Islam yang ada, penulis mengawali tulisannya dengan fasal "Kondisi Amal Islami setelah Jatuhnya Khilafah Utsmaniyah".

Penulis mengambil empat Jamaah sebagai sampel pembahasan. Masing-masing mewakili kecenderungan berbeda.

Pertama, Jama'ah Anshor as-Sunnah al-Muhammadiyah, berdiri dan berkembang di Mesir. Jama'ah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sosial dan ilmu pengetahuan (ijtimaiyyah wa ats-tsaqofah). Sering pula di sebut sebagi gerakan Salafi.

Kedua, Jama'ah Tabligh, yang lahir di India. Jamaah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sufiyyah.

Ketiga, Jama’ah Hizb at-Tahrir yang lahir dan bermula di Yordania. Jamaah ini berorientasi pada seruan Politik (as-siyasi).

Keempat, Jama'ah al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan di Mesir. Penulis menganggap bahwa jama'ah ini mewakili gerkan dakwah yang memiliki karakteristik Syamil (Menyeluruh). Tidak hanya memperhatikan aspek sosial dan ilmu pengetahuan semata, melainkan juga aspek sufiyyah dan aspek siasiyyah, bahkan juga meliputi aspek harakiyyah dan jihadiyyah (pergerakan dan Jihad).  
[Sumber: Dr. Salim Segaf al-Jufri, Kata Pengantar buku Menuju Jama'atul Muslimin]

Definisi Jama’atul Muslimin
Jama’ah diartikan secara bahasa sebagai sejumlah besar manusia atau sekelompok manusia yang berhimpun untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut syari’at, Asy Syatibi dalam Al I’tisham menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan jama’ah adalah Jama’atul Muslimin apabila mereka menyepakati seorang amir (pendapat ini didukung Ibnu Hajar dalam Fathul Bari). Ustadz Hussain kemudian menyimpulkan bahwa JM adalah jama’ah ahlul aqdi wal hilli apabila menyepakati seorang khalifah umat, dan umat pun mengikutinya. Umat itu identik dengan masyarakat umum, dan umat ini memilih para wakilnya di Majlis Syura, sementara Majlis Syura identik dengan Jama’atul Ulama atau ahlul aqdi wal hilli di dalam umat. Majlis Syura menyepakati seorang amir untuk menjadi khalifah kaum Muslimin secara umum.
Kedudukan Jama’atul Muslimin
  1. Jama’atul Muslimin mempunyai kedudukan yang mulia dan luhur dalam syari’at Islam. JM merupakan ikatan yang kokoh yang bila ia hancur maka akan hancur pula ikatan-ikatan Islam lainnya, pasif hukum-hukumnya, hilang syiar-syiarnya, dan berpecah belah umatnya.
  2. Jama’ah ini (JM) adalah jama’ah yang diperintahkan oleh Al Qur’an[2] dan As Sunnah untuk dijaga, dipelihara kesatuannya, dilindungi keutuhannya, dan dicegah dari setiap ancaman dan rongrongan yang akan merusaknya.
Eksistensi Jama’atul Muslimin
Pertanyaan yang amat sangat pantas diajukan kepada semua umat Muslim saat ini adalah : “Adakah Jama’atul Muslimin di dunia saat ini?”. Pertanyaan yang diajukan oleh Ustadz Hussain dalam bagian awal pembuatan buku ini dapat dijawab berdasarkan pemaparan mengenai definisi JM menurut bahasa dan syari’at yang dijelaskan sebelumnya. Sesuai dengan pengertian syar’i, maka jawaban dari pertanyaan tersebut bahwa JM tidak ada lagi di dunia sekarang ini. Yang ada saat ini hanyalah jama’ah dari sebagian kaum Muslimin (jama’atul minal muslimin) dan sebagian negara bagi sebagian kaum Muslimin. Sementara untuk JM sendiri maupun negara kaum Muslimin hingga saat ini belum ada.
Ada beberapa alasan yang menjelaskan kenapa JM saat ini tidak ada:
  1. Hadits Rasulullah Saw kepada Hudzaifah Al Yaman yang memberitahukan akan datangnya suatu zaman kepada umat Islam, di mana JM tidak muncul di tengah kehidupan umat Islam.
  2. Adanya beberapa pemerintahan yang memerintah umat Islam. Padahal dalam Islam tidak mengakui selain satu pemeirntahan yang memerintah umat Islam. Bahkan Islam memerintahkan umat Islam agar membunuh penguasa kedua secara langsung[3]. Imam Nawawi menjelaskan apabila ada seorang khalifah yang dibai’at setelah ada seorang khalifah, maka bai’at pertama itulah yang sah dan wajib ditaati. Sedangkan bai’at kedua dinyatakan bathil dan diharamkan taat kepadanya.
  3. Hadits shahih yang memberitahukan datangnya berbagai fitnah yang menimpa umat Islam sejak Rasulullah Saw wafat sampai hari kiamat.
Dari Umamah al-Bahil, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda, “Sendi-sendi Islam akan runtuh satu demi satu; setiap kali satu sendi runtuh, akan diikuti oleh sendi berikutnya. Sendi Islam yang pertama kali runtuh adalah pemerintahan, dan yang terakhir adalah shalat”(Ahmad).
  1. Puluhan ayat dan hadits yang menganjurkan persatuan dan keutuhan umat Islam, dan memerintahkan membunuh setiap orang yang berusaha merusak peraturan dan kesatuan tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Umat Islam senantiasa berpecah belah dalam berbagai kelompok yang justru menyulut pertengkaran dan permusuhan dalam tubuh umat Islam sendiri.
Penegakan pemerintahan merupakan dharurah (tuntutan) dan faridhah (kewajiban) untuk meningkatkan kualitas intelektual dan pembinaan generasi muda Muslim. Ia menjadi dharurah dan faridhah untuk menegakkan aspek-aspek kehidupan umat Islam; politik, militer, ekonomi, dan sosial, atas dasar manhaj Islami dan dengan cara  yang dikehendaki Allah SWT dan Rasul-Nya.

Komentar

Postingan Populer